Apa yang Baik

Pengkhotbah 2
Minggu ke-3 sesudah Pentakosta


Pengkhotbah mencari hikmat untuk mengetahui apa yang baik dalam hidup. Namun, ia menemukan bahwa baik orang bodoh maupun orang berhikmat akhirnya mengalami nasib yang sama, yaitu kematian. Ia melihat bahwa segala jerih payah dan kelelahan hanya berujung pada keputusasaan. Ia menyimpulkan bahwa yang baik bagi manusia adalah makan dan minum dan bersenang-senang dalam jerih payahnya.

Untuk membeberkan hidup manusia, Pengkhotbah menggunakan paradoks, yaitu "Bersenang-senang dalam jerih payahnya" (24; bdk. 10). Orang biasanya bersenang-senang dalam merayakan hal-hal baik, seperti ulang tahun atau kenaikan pangkat, bukan dalam kesusahan. Ini tidak lazim.

Pengkhotbah tidak mengingkari kesenangan dalam hidup, tetapi ia juga tidak menyangkali adanya kesedihan. Ia mengajak kita untuk bersikap realistis untuk menerima semua peristiwa dalam hidup. Namun, ia tidak serta-merta larut dalam keputusasaan. Ia mengambil keputusan tentang apa yang paling baik dalam hidup, yaitu kesenangan yang datangnya dari tangan Allah.

Pengkhotbah menyadari bahwa kesenangan hanya dapat dirasakan di dalam Tuhan, dan hanya dikaruniakan bagi orang yang dikenan-Nya (24-26). Paulus pun mengakui bahwa kebaikan berasal dari Allah yang bekerja dalam peristiwa apa pun, yang baik maupun yang buruk (Rm. 8:28).

Pengkhotbah menantang kita untuk mengatakan: "baik" untuk semua hal yang dinikmati, entah manis maupun pahit. Pengajaran Pengkhotbah menuntun kita untuk sanggup melihat apa yang baik dalam hidup. Ia juga menegur jika kita berada di persimpangan jalan iman, sedang putus asa, kesal hati, atau kecewa. Teguran ini kiranya menjadi "cemeti" bagi kita untuk lebih sabar dan tangguh menjalani hidup.

Percayalah, di dalam Allah, kita akan mendapat hikmat, pengetahuan, dan pengertian atas segala sesuatu. Dengan percaya kepada-Nya, kita dimampukan untuk menjalani hidup. Kita dipanggil untuk mensyukuri semua peristiwa yang kita alami, baik senang maupun susah. [TMP]
Scripture Union Indonesia © 2017.