Jangan menghakimi

Roma 14:1-13

Seorang hakim bertugas menyatakan siapa yang benar dan siapa yang
salah. Untuk menjadi hakim yang baik, seseorang perlu memenuhi
persyaratan tertentu. Kenyataan yang memprihatinkan adalah banyak
orang yang senang menjadi hakim atas hidup orang lain.


Kekristenan pada mulanya sulit dibedakan dari agama Yahudi. Peranan
Taurat dalam kehidupan orang Kristen abad pertama diperdebatkan. Bagi
sebagian orang, tidak semua daging boleh dimakan dan ada hari-hari
yang dianggap sak-ral (2, 5). Secara sosial, golongan yang terikat
dengan Taurat disebut lemah. Sebaliknya, mereka yang terbebas dari
ikatan Taurat disebut kuat. Terjadi perselisihan antara kedua golongan
ini. Yang kuat merasa diri benar dan menghakimi yang lemah (1, 3, 4a,
13). Padahal keduanya telah ditebus dan menjadi milik Kristus (9).


Untuk mengatasi konflik ini, Paulus menjelaskan prinsip yang tidak
boleh dikompromikan orang Kristen. Pertama, setiap orang percaya
adalah milik Tuhan Yesus (4, 7-8). Hidup dan matinya dipersembahkan
hanya kepada Tuhan. Kedua, setiap orang percaya telah ditebus oleh
darah Kristus yang mulia (9). Barangsiapa percaya kepada Dia, Sang
Juruselamat, pasti diselamatkan. Ketiga, semua manusia akan dihakimi
dan mempertanggungjawabkan hidupnya di hadapan Tuhan (10, 12). Oleh
karena itu, hanya Tuhan yang memiliki otoritas untuk menghakimi
kehidupan manusia.


Hidup orang Kristen harus selalu dipusatkan kepada Kristus, sebagai
Tuhan, Juruselamat, dan Hakim yang agung, bukan kepada pandangan dan
penilaian manusia yang subjektif. Prinsip ini mengandung dua
konsekuensi moral. Kita harus dapat saling menerima, meskipun terdapat
perbedaan yang tidak prinsip (1). Kita dilarang menghina, menganggap
rendah, dan menghakimi orang yang berbeda dengan kita (3). Kristuslah
Hakim bagi semua manusia.


Doa: Tuhan, ampunilah aku, jika aku sering menilai dan
menghakimi orang lain menurut selera pribadiku.

Scripture Union Indonesia © 2017.