Berharap fajar menjelang

Mazmur 130

Sehebat-hebatnya manusia, ada saatnya ia akan melalui lembah kekelaman dalam hidupnya. Pemazmur mengatakan, "dari jurang yang dalam dia berseru kepada Tuhan". Makin dekat hubungan kita dengan Tuhan, makin sensitif kita terhadap kejatuhan yang kita alami dalam hubungan kita dengan Tuhan. Makin dekat kita dengan Tuhan, makin besar kerinduan dan hasrat untuk erat bersekutu dengan Tuhan.


Saat membaca bait-bait mazmur ini, kita diajak untuk merenungkan kembali betapa menyedihkan keadaan kita dan betapa besar kesalahan kita. Saat merenungkan keadaan kita, di hadapan Tuhan, kita akan tercengang dan terpukul: "Betapa kotornya diri saya! Betapa dalamnya saya telah terjatuh! Betapa besar anugerah-Nya bagi saya sehingga dia merangkul saya kembali!" Sebegitu kotornya diri kita sehingga hanya pengampunan yang dapat mengangkat kita kembali dari kedalaman jurang itu. Bukan perjuangan. Bukan kerja keras. Bukan kepandaian maupun kecerdikan kita. Hanya pengampunan yang bisa memulihkan kita. Pengampunan itu hanya bisa didapatkan dari Tuhan sendiri. Inilah realitas kehidupan. Orang yang menyadari keadaannya dan realitas kehidupan ini akan berseru kepada Tuhan dan kepada Tuhan saja, penuh harap, tanpa henti.


Seorang pengawal ditempatkan di malam hari untuk menjaga kota dan penduduknya dari ancaman berbagai hal buruk yang bisa terjadi, seperti serangan musuh, hewan liar, atau bencana alam. Ia tak boleh lengah dan harus ekstra hati-hati di tengah kekelaman malam. Maka merekahnya sinar mentari di pagi hari merupakan tanda kelepasan yang melegakan bagi seorang pengawal yang berjaga di malam hari.


Di tengah berbagai pergumulan hidup ini, seberapa sungguh jiwa kita berharap kepada Tuhan? Ketika kita menyadari betapa mengenaskan keadaan kita dan betapa kita telah terjatuh ke dalam jurang, adakah kita mengharapkan merekahnya fajar? Atau jangan-jangan kita menikmati keadaan dalam gelap?

Scripture Union Indonesia © 2017.