Mawas diri
Mazmur-mazmur dalam jilid III (ps. 73-89) hampir sepenuhnya
didominasi oleh pergumulan umat pascapembuangan. Jilid IV yang
diawali oleh mazmur ps. 90 ini berjudul "Doa Musa." Sesudah ps.
89 mengungkapkan Allah telah menolak perjanjian Daud maka
peralihan ke Musa menegaskan suatu makna teologis yang penting.
Mazmur ini menyadari bahwa hanya Allah Raja sejati, dan
penghayatan sebagai umat perjanjian Allah harus diisi oleh
komitmen penuh kepada hukum-hukum perjanjian-Nya yang telah Ia
berikan melalui Musa. Mazmur ini juga mengajak kita merenungkan
problem dalam hidup Musa. Musa yang menjadi tokoh pembebas
Israel tidak mendapat kesempatan masuk Tanah Perjanjian.
Kelemahan dan dosa Musa membuat ia kurang layak dan akibatnya ia
tidak mendapat kesempatan untuk mengalami penggenapan janji
Allah.
Dalam masa sesudah pembuangan, pengalaman Musa ini menjadi kerangka
supaya umat mawas diri dan merenungkan hal-hal prinsip yang
harus mereka hayati ulang. Prinsip terpenting adalah menempatkan
Allah sebagai tempat perlindungan umat untuk selama-lamanya
(ayat 1-2). Kekekalan Allah akan membangkitkan kesadaran tentang
kefanaan dan keterbatasan umat, sebaliknya kefanaan dan
keterbatasan umat akan membangkitkan kesadaran bahwa umat mutlak
memerlukan Allah (ayat 3-6). Hidup yang singkat ini menuju pada
satu tujuan entah hidup bermakna kekal ataupun sia-sia menuju
kebinasaan. Untuk itu, umat perlu hikmat agar tahu bagaimana
mengisi hidup ini dengan hal-hal yang bermakna kekal (ayat 12),
dan topangan kasih setia Allah terus-menerus sepanjang kehidupan
(ayat 13-17).
Renungkan:
Hari-hari kehidupan kita bukan sekadar kegiatan bangun tidur,
makan, kerja, belajar, istirahat, hiburan, olahraga, dst. Setiap
saat dalam kehidupan kita adalah kesempatan untuk akrab dengan
Tuhan, untuk mensyukuri kebaikan-Nya, dan untuk mewujudnyatakan
kehendak-Nya dalam hidup kita.