"Engkau sendiri saja Allah"
Sama atau bedakah sikap orang beriman dari orang tak beriman
ketika memikul beban berat kehidupan? Jujur, sering kali sikap
keduanya hampir tidak dapat dibedakan. Demikian juga yang kita
lihat selintas dalam mazmur ini. Namun, bila kita lebih teliti
melihatnya, kita akan menjumpai perbedaan mendasar. Di pusat
semua pergumulan manusiawinya, pemazmur menempatkan Allah.
Sambil mempererat komitmennya kepada Allah dan berfokus pada
sifat hakiki Allah (ayat 8-13), pemazmur mencurahkan
reaksi-reaksi manusia-winya dalam kesusahan. Keunikan inilah
yang harus membedakan sikap orang beriman dari orang tidak
beriman dalam menanggung kesusahan hidup.
Terbuka dalam mengungkapkan masalah berat yang ditanggung, jujur
tentang perasaan yang timbul, dan gam-blang mengungkapkan
permohonan menjadi ciri doa-doa pemazmur (ayat 1-7,14-17). Kalau
hanya itu, hampir tidak dapat dibedakan reaksi orang beriman
dari reaksi orang tidak beriman dalam kesusahan, bukan? Justru
doa dan keluhan demikian harus dipandang salah sebab berpusat
pada perasaan, kebutuhan, dan permohonan diri sendiri saja.
Namun, doa pemazmur tidak egoistis. Di pusat pergumulannya itu,
tebersit sikapnya yang mengutamakan Tuhan dan meninggikan
kemuliaan-Nya. Allah saja satu-satunya tempat ia mengadu dan
memohon. Ia memohon agar nama Tuhan dihormati semua orang dan ia
sendiri pun takut akan nama itu (ayat 9b,11b).
Menjadi beriman bukan berarti menjadi orang aneh dan tidak
manusiawi. Banyak hal yang membuat orang tak beriman menjadi
gelisah, menangis, dan berkeluh-kesah. Merupakan hal yang wajar
jika kita, sebagai orang beriman mengalaminya. Namun, karena
pusat hidup kita bukan lagi diri kita sendiri, tetapi Tuhan
Allah yang sudah menebus kita melalui Yesus Kristus, maka
prinsip kita menghadapi masalah hidup pun harus berbeda.
Responsku:
----------------------------------------------------------------
----------------------------------------------------------------