Kedahsyatan hukuman Allah.
Ada kecenderungan dalam diri kita untuk tidak tertarik pada
sesuatu yang dinyatakan dengan simbol. Kecenderungan ini mungkin
diakibatkan oleh seringnya orang salah menafsirkan sebuah
simbol. Untuk suatu peristiwa, mungkin hal ini dapat dibenarkan,
tetapi kecenderungan tersebut tidak selalu benar. F.F.Bruce,
seorang sarjana ahli Perjanjian Baru terkenal, mengatakan
pendapatnya tentang pasal ini: "Seluk-beluk malapetaka-
malapetaka dalam pasal ini—juga pasal-pasal sebelumnya adalah
simbolis, tetapi walaupun demikian, semuanya menyatakan suatu
realitas yang dahsyat".
Malapetaka-malapetaka yang Allah datangkan di pasal-pasal sebelumnya
memang selalu dinyatakan dengan simbol (ps. 1,5,8,10,12,15),
tetapi simbol-simbol tersebut menandakan sebuah realitas yang
harus diwaspadai. Artinya, simbol yang menggambarkan tentang
malapetaka-malapetaka tersebut dapat dijadikan peringatan bahwa
Allah serius menindak perbuatan dosa. Namun, manusia tetap pada
kesombongannya (bdk. 2Tim. 3:1-9). Kesabaran Allah ada batasnya.
Akhirnya, Allah memutuskan menutup kesempatan bagi manusia untuk
bertobat. Itu berarti murka Allah yang sesungguh-sungguhnya dan
sepenuh-penuhnya -- seperti yang pernah Allah timpakan kepada
bangsa Mesir -- harus ditimpakan kepada manusia. Bumi, laut, udara,
bergejolak dahsyat menuju kehancuran dan kebinasaan. Raungan dan
jerit kesakitan umat manusia hanya buang-buang waktu saja!
Sepanjang sejarah Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, kita
dipaparkan tentang fakta bahwa Allah kita adalah Allah yang
penuh kasih. Dalam murka-Nya, terselip ucapan penghiburan yaitu
bahwa ternyata murka Allah tidak diberlakukan kepada mereka yang
memiliki tanda kemilikan Kristus, dan yang terus berjaga-jaga!
(ayat 15).
Sebagai umat Allah yang hidup di zaman ini, tentunya kita memahami
bahwa Allah tidak sedang bercanda ketika memberikan penglihatan
ini kepada Yohanes.
Renungkan:
Perbuatan dosa serius di mata Allah. Waspadailah kehidupan kita
karena Iblis terus berusaha mengkrabkan kita dengan dosa, dan
menjauhkan kita