Bukannya tidak tahu

Bilangan 22:1-20

Pada sebuah penelitian arkeologi di Tell Der 'Alla yang terletak di negara Yordania (dulu adalah wilayah Moab), ditemukan tulisan dinding di sebuah gua bertinta merah dan hitam. Tulisan tersebut berbunyi: "Kitab Bileam, anak Beor, pelihat ilah-ilah." Prasasti ini membuktikan bahwa Bileam pernah hidup dan menjadi nabi.


Sebelumnya, bangsa Israel menaklukkan bangsa Amori yang terkenal sangat kuat. Tak heran, bangsa Moab dan rajanya menjadi sangat gentar ketika bangsa Israel berkemah di dataran Moab (1). Oleh karena itu, Balak, raja Moab, ingin mencari kekuatan lain untuk melawan umat Allah (3-4). Lalu Balak memohon bantuan dari Bileam, yang reputasinya sudah dikenal, untuk mengucapkan kutukan atas Israel agar Moab mampu mengusir Israel dari tanah mereka (5-6). Yang menarik, Bileam tidak menghadap ilah-ilah bangsa Moab melainkan datang kepada Tuhan, Allah Israel (8).


Mulanya, Bileam menolak undangan Balak, sesuai firman Allah (9-13). Namun Balak tidak mau menerima penolakan Bileam. Balak mengirimkan utusan yang lebih banyak, yang terdiri dari orang-orang yang lebih terhormat, dengan tawaran imbalan yang sangat banyak pula (15-17). Respons awal Bileam tampak terpuji. Ia berkata bahwa ia tidak dapat pergi bersama utusan Balak, seberapapun besar upah yang akan mereka berikan (18). Seolah ia tidak bisa dibujuk untuk melawan perkataan Allah. Namun, Bileam kemudian mengundang utusan Balak untuk menginap. Kelihatannya, Bileam ingin bernegosiasi dengan Allah (19). Padahal jawaban Allah sudah jelas. Jadi Bileam bukan tidak tahu kehendak Allah, melainkan ia tidak ingin melakukannya. Tawaran dari Balak terlalu menggiurkan untuk ditolak.


Namun bukankah kita juga sering seperti Bileam? Meski sudah tahu kehendak Allah, tetapi kita bolak balik menanyakannya karena sebenarnya kita menginginkan kehendak Allah itu sesuai dengan keinginan yang sudah tersimpan di benak kita. Marilah kita meredam keinginan kita, tunduk di hadapan Allah, dan membiarkan kehendak-Nya itu yang terjadi atas kita.

Sebelumnya, bangsa Israel menaklukkan bangsa Amori yang terkenal sangat kuat. Tak heran, bangsa Moab dan rajanya menjadi sangat gentar ketika bangsa Israel berkemah di dataran Moab (1). Oleh karena itu, Balak, raja Moab, ingin mencari kekuatan lain untuk melawan umat Allah (3-4). Lalu Balak memohon bantuan dari Bileam, yang reputasinya sudah dikenal, untuk mengucapkan kutukan atas Israel agar Moab mampu mengusir Israel dari tanah mereka (5-6). Yang menarik, Bileam tidak menghadap ilah-ilah bangsa Moab melainkan datang kepada Tuhan, Allah Israel (8).

Mulanya, Bileam menolak undangan Balak, sesuai firman Allah (9-13). Namun Balak tidak mau menerima penolakan Bileam. Balak mengirimkan utusan yang lebih banyak, yang terdiri dari orang-orang yang lebih terhormat, dengan tawaran imbalan yang sangat banyak pula (15-17). Respons awal Bileam tampak terpuji. Ia berkata bahwa ia tidak dapat pergi bersama utusan Balak, seberapapun besar upah yang akan mereka berikan (18). Seolah ia tidak bisa dibujuk untuk melawan perkataan Allah. Namun, Bileam kemudian mengundang utusan Balak untuk menginap. Kelihatannya, Bileam ingin bernegosiasi dengan Allah (19). Padahal jawaban Allah sudah jelas. Jadi Bileam bukan tidak tahu kehendak Allah, melainkan ia tidak ingin melakukannya. Tawaran dari Balak terlalu menggiurkan untuk ditolak.

Namun bukankah kita juga sering seperti Bileam? Meski sudah tahu kehendak Allah, tetapi kita bolak balik menanyakannya karena sebenarnya kita menginginkan kehendak Allah itu sesuai dengan keinginan yang sudah tersimpan di benak kita. Marilah kita meredam keinginan kita, tunduk di hadapan Allah, dan membiarkan kehendak-Nya itu yang terjadi atas kita.

", "http://www.su-indonesia.org/images/santapanHarian/6484-t.jpg", 520, 350)'>
Scripture Union Indonesia © 2017.