Menghapus noda dengan noda?

Kejadian 34:1-31

Noda yang sangat mengguncangkan kehidupan keluarga Yakub terjadi karena Dina, putri Yakub satu-satunya, diperkosa oleh Sikhem, anak Hemor, raja orang Hewi. Seharusnya sebagai pendatang, tidak pada tempatnya Dina yang baru berusia sekitar 15-16 tahun itu berjalan-jalan untuk melihat (dan dilihat) orang yang belum dikenal. Prinsip pergaulan seharusnya ditanamkan dengan baik oleh ayah dan ibunya, tetapi tidak demikian rupanya. Maka terjadilah musibah itu. Sikhem melarikan Dina dan memperkosa dia. Meski Sikhem telah berbuat salah, tetapi ia jatuh cinta kepada Dina dan meminta izin untuk boleh mengawini Dina.


Sesudah terjadi musibah itu Yakub tidak mengambil tindakan apa pun. Ia mendiamkan perkara itu sampai anak-anaknya pulang. Reaksi anak-anaknya yang menganggap kehormatan keluarga telah ternoda oleh pemerkosaan terhadap Dina, bercampur antara sakit hati dan marah (7). Niat baik Sikhem dan lamaran yang diajukan ayahnya tidak dapat menghapuskan sakit hati anak-anak Yakub. Nyata kemudian bahwa sakit hati dan kemarahan tidak menghasilkan pertimbangan yang didasari oleh kebajikan dan kebijakan. Sebaliknya dari merespons dengan tepat, mereka melakukan rencana jahat. Mereka berpura-pura menerima permintaan tersebut, tetapi mengajukan prasyarat religius. Sikhem, Hemor, dan semua laki-laki orang Hewi harus disunat. Suatu permintaan yang terkesan benar karena mengatasnamakan aturan agama, padahal berisi tipu muslihat keji.


Setelah sunat massal dan saat semua laki-laki orang Hewi sedang kesakitan, Simeon dan Lewi menyerang mereka secara keji. Bisa dibayangkan apa yang terjadi. Orang-orang yang kesakitan sesudah disunat menjadi korban kekejaman Simeon dan Lewi. Tidak cukup sampai di situ, mereka juga menjarah dan menawan anak serta perempuan orang Hewi.


Noda dapat dihindari dengan perilaku saleh. Namun saat noda terjadi, harus diatasi dengan motif dan tindakan benar, bukan amarah, sakit hati, dan memperalat aturan kesalehan!

Scripture Union Indonesia © 2017.