Mengelola konflik

Kisah 15:1-5


Gereja yang sedang bertumbuh dan mulai menata diri biasanya akan
bertemu dengan permasalahan internal gereja, misalnya: masalah
kepemimpinan, organisasi, bentuk pelayanan, dan pengajaran. Tak
jarang pula perselisihan ini akan berakhir pada perpecahan
jemaat. Prinsip apa yang seharusnya kita pakai untuk
menyelesaikan persoalan ini?


Paulus menerima kedatangan beberapa orang Kristen Yahudi dari Yudea
dengan baik meski mereka datang dengan membawa pengajaran yang
tidak benar (ayat 1). Kemungkinan isu ini berasal dari kalangan
orang Farisi yang telah menjadi Kristen (ayat 5). Walaupun
Paulus menentang dengan keras pandangan keliru ini, namun ia
tidak memaksakan pendapatnya kepada jemaat Antiokhia. Ia justru
menyetujui usulan jemaat Antiokhia untuk menyelesaikan masalah
ini dengan melibatkan pimpinan gereja lainnya yakni para rasul
dan penatua jemaat di Yerusalem (ayat 2). Dalam perjalanannya
menuju Yerusalem, ia berkesempatan menjumpai jemaat Tuhan di
Fenisia dan Samaria. Paulus tidak memakai kesempatan itu untuk
mempengaruhi jemaat tersebut dan mencari dukungan suara bagi
pendapatnya melainkan ia menyaksikan anugerah Allah yang
dicurahkan kepada orang nonyahudi sehingga mereka menyambut
Injil (ayat 3). Hal yang sama pun ia lakukan ketika berjumpa
dengan pimpinan gereja di Yerusalem (ayat 4).


Gereja-gereja di Indonesia masa kini sering menghadapi masalah
serupa. Salah satu penyebabnya adalah tradisi-tradisi yang
kedudukannya disamakan dengan firman Tuhan. Kita harus tegas
menolak pandangan yang tidak alkitabiah dengan meneladani sikap
Paulus. Yaitu, tidak memperuncing perbedaan pendapat yang dapat
memecah-belah jemaat, melibatkan pemimpin gereja yang kompeten
untuk menyelesaikan masalah, dan tidak memanfaatkan posisi dalam
gereja untuk mencari dukungan.


Tekadku:
Tegas dalam mempertahankan kebenaran, arif dalam menyelesaikan
perbedaan pendapat.

Scripture Union Indonesia © 2017.