Terhadap pemimpin dan masa depan.

Pengkhotbah 8:2-8
Minggu ke-19 sesudah Pentakosta

Hikmat diperlukan khususnya menyangkut penentuan sikap terhadap
pemimpin dan sikap terhadap masa depan. Kepatuhan kepada
pemimpin akan membuat seseorang disukai oleh pemimpinnya. Untuk
orang beriman kepatuhan itu tidak didorong oleh sikap "menjilat"
atasan demi mencari keuntungan diri sendiri, tetapi oleh
dorongan takluk kepada Tuhan (ayat 2). Ingatlah juga bahwa
perbedaan pendapat adalah wajar sejauh prinsip kebenaran tidak
dilanggar. Pemimpin seharusnya memiliki wawasan lebih luas dan
pertimbangan lebih jauh daripada orang yang dipimpinnya. Inilah
alasan untuk menaati pemimpin.


Tuhan menetapkan manusia hanya dapat mengetahui apa yang terjadi
hari ini, mengingat apa yang dialami pada hari kemarin dan tidak
berkuasa "membuka" masa depan (ayat 8). Penyebab manusia ingin
mencari tahu tentang masa depannya bermacam-macam, a.l.:
khawatir anaknya mengalami nasib sial/kecelakaan, takut
pasangannya berselingkuh, tidak berani mengalami kemiskinan,
dll. Selain itu, tidak sedikit orang-orang yang berkecukupan
materinya dan memiliki segalanya juga melakukan hal yang sama.
Sikap seperti ini menunjukkan ketidakpercayaannya pada Tuhan
yang berkuasa "memegang masa depan". Sebaliknya mereka
menciptakan "tuhan" mereka sendiri dan menggantikan-Nya dengan
takhayul, ajaran sesat, ilah lain, dsb. Sebenarnya, jika hal ini
yang dilakukan, tanpa disadari mereka justru mendatangkan
pengadilan Tuhan terhadap dirinya (ayat 6).


Bagaimana dengan masa depan anak-anak Tuhan? Masa depan anak-anak
Tuhan adalah ibarat berjalan bersama gembala yang baik yang
mengasihi kita sampai Ia rela menyerahkan nyawa-Nya bagi kita
dan memberikan perlindungan dari bahaya (Mzm. 23:1-6). Kita
tidak perlu mencari-cari sumber tertentu untuk memberitahukan
bagaimana masa depan kita. Kesetiaan Tuhan menjaga anak-anak-Nya
adalah jaminan tepercaya dalam menghadapi masa depan.


Renungkan:
Tuhan ingin kita memercayakan masa depan kita kepada-Nya.

Scripture Union Indonesia © 2017.