Karena A, maka pasti B?

1Samuel 4:1-22
Minggu ke-8 sesudah Pentakosta

Karena Anda cantik/ganteng, maka anak Anda hidup bahagia.
Benarkah pernyataan ini? Tentu saja tidak. Orang Romawi bilang:
'non sequitur'; "tidak mengikuti". Pernyataan kegantengan atau
kecantikan fisik orang tua tidak dapat dijadikan sebab, lalu
'diikuti' oleh pernyataan bahwa anak orang tersebut bahagia
sebagai akibatnya. Tidak ada hubungannya, dan tidak bisa
dihubung-hubungkan.


Sayang, istilah Latin itu tidak dikenal orang Israel. Karena kira-
kira justru demikianlah cara mereka waktu itu berpikir. Mereka
berpikir jika tabut perjanjian Allah dibawa ke medan perang,
pasti Allah akan memenangkan mereka (ayat 3). Siapa tahu, seperti
yang ditakutkan Filistin (ayat 7-8), karenanya Allah bertindak
seperti pada saat Israel keluar dari Mesir. Non sequitur. Dari
perspektif teologi PL, hal pemberian kemenangan bagi Israel dalam
peperangan bersangkut paut dengan kedaulatan dan kekudusan Allah
sendiri, serta ketaatan umat. Kekalahan adalah hukuman Tuhan.
Kekalahan Israel yang dahsyat menjadi bukti ketidakberkenanan
Allah (ayat 10-11). Melalui peristiwa ini pula firman Tuhan
mengenai penghukuman terhadap Eli dan keluarganya digenapi (ayat
11-22). Istri Pinehas memberikan kesimpulan yang tepat: dengan
berbuat demikian, justru Israel kehilangan kemuliaan (ayat 21-
22).


Apa yang dilakukan Israel mirip dengan apa yang sering dilakukan
Kristen masa kini. Kadang "klaim" akan janji Tuhan berubah
menjadi pemerasan terhadap Allah: kita menjebak Allah dengan
menaruh janji firman tertentu untuk menghadapi masalah kita. Kita
anggap Allah pasti tidak mau dipermalukan karena janji-Nya "tidak
digenapi." Padahal, upaya jebak-paksa rohani ini sering berakar
dari pengertian salah tentang janji atau firman tersebut.
Seharusnya Kristen selalu ingat bahwa Allah tidak bisa dipaksa.


Renungkan:
Keyakinan tentang kedaulatan, kasih, keadilan Allah akan
mengajarkan kita berserah bukan memaksa Allah.

Sayang, istilah Latin itu tidak dikenal orang Israel. Karena kira- kira justru demikianlah cara mereka waktu itu berpikir. Mereka berpikir jika tabut perjanjian Allah dibawa ke medan perang, pasti Allah akan memenangkan mereka (ayat 3). Siapa tahu, seperti yang ditakutkan Filistin (ayat 7-8), karenanya Allah bertindak seperti pada saat Israel keluar dari Mesir. Non sequitur. Dari perspektif teologi PL, hal pemberian kemenangan bagi Israel dalam peperangan bersangkut paut dengan kedaulatan dan kekudusan Allah sendiri, serta ketaatan umat. Kekalahan adalah hukuman Tuhan. Kekalahan Israel yang dahsyat menjadi bukti ketidakberkenanan Allah (ayat 10-11). Melalui peristiwa ini pula firman Tuhan mengenai penghukuman terhadap Eli dan keluarganya digenapi (ayat 11-22). Istri Pinehas memberikan kesimpulan yang tepat: dengan berbuat demikian, justru Israel kehilangan kemuliaan (ayat 21- 22).

Apa yang dilakukan Israel mirip dengan apa yang sering dilakukan Kristen masa kini. Kadang \"klaim\" akan janji Tuhan berubah menjadi pemerasan terhadap Allah: kita menjebak Allah dengan menaruh janji firman tertentu untuk menghadapi masalah kita. Kita anggap Allah pasti tidak mau dipermalukan karena janji-Nya \"tidak digenapi.\" Padahal, upaya jebak-paksa rohani ini sering berakar dari pengertian salah tentang janji atau firman tersebut. Seharusnya Kristen selalu ingat bahwa Allah tidak bisa dipaksa.

Renungkan: Keyakinan tentang kedaulatan, kasih, keadilan Allah akan mengajarkan kita berserah bukan memaksa Allah.

", "http://www.su-indonesia.org/images/santapanHarian/2186-t.jpg", 520, 350)'>
Scripture Union Indonesia © 2017.